Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Tidaklah boleh bagi para guru untuk membuat manusia berkelompok-kelompok dan berbuat apa-apa yang menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian ...
Dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah shollalahu 'alaihi wassalam bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” HR. Imam Malik ...
Segala
puji bagi Allah. Semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan atas
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja yang
mengikuti sunnahnya dan menjadikan ajarannya sebagai petunjuk sampai
hari kiamat.
Sejarah
Islam, baik yang dulu maupun sekarang senantiasa menceritakan kepada
kita, contoh-contoh indah dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk,
mereka memiliki semangat yang begitu tinggi dalam mencari agama yang
benar. Untuk itulah, mereka mencurahkan segenap jiwa dan mengorbankan
milik mereka yang berharga, sehingga mereka dijadikan permisalan, dan
sebagai bukti bagi Allah atas makhluk-Nya.
Sesungguhnya
siapa saja yang bersegera mencari kebenaran, berlandaskan keikhlasan
karena Allah Ta’aala, pasti Dia ‘Azza Wa Jalla akan menunjukinya kepada
kebenaran tersebut, dan akan dianugerahkan kepadanya nikmat terbesar di
alam nyata ini, yaitu kenikmatan Islam. Semoga Allah merahmati syaikh
kami al-Albani yang sering mengulang-ngulangi perkataan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اْلإِسْلاَمِ وَالسُنَّةِ
Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan as-Sunnah
Diantara kalimat mutiara ulama salaf adalah:
إِنَّ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى اْلأَعْجَمِيِّ وَ الشَابِ إِذَا نَسَكَ أَنْ يُوَافِيَ صَاحِبَ سُنَّةٍ فَيَحْمِلَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya
diantara nikmat Allah atas orang ‘ajam dan pemuda adalah, ketika dia
beribadah bertemu dengan pengibar sunnah, kemudian dia membimbingnya
kepada sunnah Rasulullah.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah,
dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya
Inilah
kalimat tauhid, kalimat yang baik, kunci surga. Kalimat inilah stasiun
pertama dari jalan panjang yang penuh dengan onak dan duri, kalimat
taqwa bukanlah kalimat yang mudah bagi seorang insan yang ingin
menggerakkan lisannya untuk mengucapkannya, demikian juga ketika dia
ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam. Karena, ketika
seorang insan ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam, maka
dia harus mengetahui terlebih dahulu, bahwa kalimat itu keluar dengan
seizin Allah Ta’aala.
Demikianlah
yang dialami oleh Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah
memeliharanya, meluruskannya diatas jalan keistiqomahan, serta menutup
lembaran hidupnya diatas Islam-.
Inilah dia yang akan menceritakan kepada kita, bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya (Nashrani)
menuju Islam, dan bagaimana dia telah mengorbankan kekayaan ayahnya
serta kemewahan hidupnya, di suatu jalan (hakekat terbesar), demi
mencari kebebasan akal dan jiwa.
Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, dan mengokohkannya diatas jalan keistiqomahan- menceritakan:
Saya
adalah seorang lelaki dari keluarga Roma, seorang anak dari keluarga
kaya, semasa kecil, saya hidup dengan kemewahan dan kemakmuran.
Demikianlah, kulalui masa kecilku. Ketika masa remajapun, saya banyak
menghabiskan waktu dengan kemewahan bersama teman-temanku, ketika itu
saya memiliki sebuah mobil mewah dan uang, sehingga saya bisa memiliki
segala sesuatu dan tidak pernah kekurangan.
Akan
tetapi sejak kecil, saya senantiasa merasa bahwa dalam kehidupan ini
ada yang kurang, dan saya yakin bahwa ada sesuatu yang salah di dalam
hidupku, serta suatu kekosongan yang harus kupenuhi, karena semua sarana
kehidupan ini bukanlah tujuanku. Saya mulai tertarik dengan agama, dan
mulailah kubaca Injil, pergi ke gereja, serta kusibukkan diriku dengan
membaca buku-buku agama Kristen. Dari buku-buku yang kubaca tersebut,
mulai kudapatkan sebagian jawaban atas berbagai pertanyaanku, akan
tetapi tetap saja belum sempurna.
Dahulu
saya bangun pagi setiap hari dan pergi ke pantai, saya merenungi laut
sambil membaca buku-buku dan shalat. Setelah dua bulan dari permulaan
hidupku ini, saya merasa mantap bahwa saya tidak mampu terus menerus
menjalani hidupku seperti biasanya setelah beragama, ketika itu, saya
mendatangi ayahku dan kukabarkan kepadanya bahwa saya tidak bisa
melanjutkan bekerja dengannya, saya juga pergi mendatangi ibu dan
saudari-saudariku dan kukabarkan kepada mereka bahwa saya telah
mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka.
Kemudian
kusiapkan tasku lalu naik kereta tanpa kuketahui ke mana saya hendak
pergi, hingga saya tiba di kota Polon, kemudian saya masuk ke ad-dir (Istilah untuk gereja yang terpencil dipedalaman. – pent.)
disana, lalu naik gunung yang tinggi. Saya menetap di gunung selama
kira-kira sebulan, saya tidak berbicara dengan siapapun, saya hanya
membaca dan beribadah.
Sekitar
tiga tahun, saya senantiasa berpindah-pindah dari satu ad-dir ke ad-dir
yang lain, saya membaca dan beribadah, kebalikannya para pendeta yang
tidak bisa meninggalkan ad-dir mereka, karena saya tidak pernah
memberikan janji untuk menjadi seorang pendeta di suatu ad-dir tertentu,
dan janji tersebut akan menghalangiku untuk keluar masuk darinya.
Setelah
itu, saya memutuskan untuk berkeliling ke pelbagai negeri, maka saya
memulai perjalanan panjangku dari Italia melalui Slovania, Hungaria,
Nimsa, Romania, Bulgaria, Turki, Iran, Pakistan, dari sana menuju India.
Semua perjalanan ini saya tempuh melalui jalur darat. Saya mendengar
suara adzan di Turki, dan saya sudah pernah mendengarnya di Kairo
(Mesir) pada perjalananku sebelumnya, akan tetapi kali ini sangat
berkesan, sehingga saya mencintainya.
Dalam
perjalanan pulang, saya bertemu dengan seorang muslim Syi’ah di
perbatasan Iran dan Pakistan, dia dan temannya menjamuku dan mulai
menjelaskan kepadaku tentang Islam versi Syi’ah, keduanya
menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak menjelaskan kepadaku tentang
Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka menfokuskan pada ajaran Syi’ah
dan Imam Ali z, serta tentang penantian mereka terhadap seorang Imam yang ikhlas, yang akan datang untuk membebaskan manusia.
Semua
diskusi tesebut sama sekali tidak menarik perhatianku, dan saya belum
mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaanku dalam rangka mencari
hakekat kebenaran. Orang Syi’ah itu menawarkan kepadaku untuk
mempelajari Islam di kota Qum, Iran, selama tiga bulan tanpa dipungut
biaya, akan tetapi saya memilih untuk melanjutkan perjalananku dan
kutinggalkan mereka.
Kemudian
saya menuju India, dan ketika saya turun dari kereta, pertama yang
kulihat adalah manusia yang membawa kendi-kendi di pagi hari sekali
dengan berlari-lari kecil menuju ke dalam kota, maka kuikuti mereka dan
saya melihat mereka berthowaf mengelilingi sapi betina yang terbuat dari
emas, ketika itu saya sadar bahwa India bukanlah tempat yang kucari.
Setelah
itu, saya kembali ke Italia dan dirawat di rumah sakit selama sebulan
penuh, hampir saja saya meninggal dikarenakan penyakit yang saya derita
ketika di India, akan tetapi Allah telah menyelamatkanku. Alhamdulillah.
Saya
keluar dari rumah sakit menuju rumah, dan mulailah saya berfikir
tentang langkah-langkah yang akan saya ambil setelah perjalanan panjang
ini, maka saya memutuskan untuk terus dalam jalanku mencari hakekat
kebenaran. Saya kembali ke ad-dir dan mulailah kujalani kehidupan
seorang pendeta di sebuah ad-dir di Roma. Pada waktu itu saya telah
diminta oleh para pembesar pendeta disana untuk memberikan
kalimat dan janji. Pada malam itu, saya berfikir panjang, dan keesokan
harinya saya memutuskan untuk tidak memberikan janji kepada mereka lalu
kutinggalkan ad-dir tersebut.
Saya
merasa ada sesuatu yang mendorongku untuk keluar dari ad-dir, setelah
itu saya menuju al-Quds karena saya beriman akan kesuciannya. Maka
mulailah saya berpergian menuju al-Quds melalui jalur darat melewati
berbagai negeri, sampai akhirnya saya tiba di Siria, Lebanon, Oman, dan
al-Quds, saya tinggal disana seminggu, kemudian saya kembali ke Italia,
maka bertambahlah pertanyaan-pertanyaanku, saya kembali ke rumah lalu
kubuka Injil.
Pada
kesempatan ini, saya merasa berkewajiban untuk membaca Injil dari
permulaannya, maka saya memulai dari Taurat, menelusuri kisah-kisah para
nabi bani Israel. Pada tahap ini mulai nampak jelas di dalam diriku
makna-makna kerasulan hakiki yang Allah mengutus kepadanya, mulailah
saya merasakannya, sehingga muncullah berbagai pertanyaan yang belum
saya dapatkan jawabannya, saya berusaha menemukan jawaban atas berbagai
pertanyaan tersebut dari perpustakaanku yang penuh dengan buku-buku
tentang Injil dan Taurat.
Pada
saat itu, saya teringat suara adzan yang pernah kudengar ketika
berkeliling ke berbagai negeri serta pengetahuanku bahwa kaum muslimin
beriman terhadap Tuhan yang satu, tiada sesembahan yang berhak disembah
selain Dia. Dan inilah yang dulu saya yakini, maka saya berkomitmen :
Saya harus berkenalan dengan Islam, kemudian mulailah kukumpulkan
buku-buku tentang Islam, diantara yang saya miliki adalah terjemahan
al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah saya beli ketika berkeliling
ke berbagai negeri.
Setelah
kutelaah buku-buku tersebut, saya berkesimpulan bahwa Islam tidak
seperti yang dipahami oleh mayoritas orang-orang barat, yaitu sebagai
agama pembunuh, perampok dan teroris akan tetapi yang saya dapati adalah
Islam itu agama kasih sayang dan petunjuk, serta sangat dekat dengan
makna hakiki dari Taurat dan Injil.
Kemudian
saya putuskan untuk kembali ke al-Quds, karena saya yakin bahwa al-Quds
adalah tempat turunnya kerasulan terdahulu, akan tetapi kali ini saya
menaiki pesawat terbang dari Italia menuju al-Quds. Saya turun di tempat
turunnya para pendeta dan peziarah dibawah panduan hause bus Armenia di
daerah negeri kuno. Di dalam tasku, saya tidak membawa sesuatu kecuali
sedikit pakaian, terjemahan al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kemudian saya
mulai membaca lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi, saya
membandingkan kandungan al-Qur’an dengan isi Taurat dan Injil, sehingga
saya berkesimpulan bahwa kandungan al-Qur’an sangat dekat dengan ajaran
Musa dan Isa ‘alaihimassalaam yang asli.
Selanjutnya
saya mulai berdialog dengan kaum muslimin untuk menanyakan kepada
mereka tentang Islam, sampai akhirnya saya bertemu dengan sahabatku yang
mulia Wasiim Hujair, kami berbincang-bincang tentang Islam. Saya juga
banyak bertemu dengan teman-teman, mereka menjelaskan kepada saya
tentang Islam. Setelah itu, saudara Wasiim mengatakan kepadaku bahwa dia
akan mengadakan suatu pertemuan antara saya dengan salah seorang dari
teman-temannya para da’i.
Pertemuan
itu berlangsung dengan saudara yang mulia Amjad Salhub, kemudian
terjadilah perbincangan yang bagus tentang agama Islam. Diantara perkara
yang paling mempengaruhiku adalah kisah sabahat yang mulia, Salman
al-Farisi z, karena di dalamnya ada kemiripan dengan ceritaku tentang pencarian hakekat kebenaran.
Kami
berkumpul lagi dalam pertemuan yang lain dengan saudara Amjad beserta
teman-temannya, diantaranya fadhilatusy Syaikh Hisyam al-‘Arif
–hafidhohulloh-, maka berlangsunglah dialog tentang Islam dan
keagungannya, kebetulan ketika itu saya memiliki beberapa pertanyaan
yang kemudian dijawab oleh Syaikh.
Setelah
itu, saya terus menerus berkomunikasi dengan saudara Amjad yang dengan
sabar menjelaskan jawaban atas mayoritas pertanyaan-pertanyaanku. Pada
saat seperti itu di depan saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti
kebenaran atau menolaknya, dan saya sama sekali tidak sanggup menolak
kebenaran tersebut setelah saya meyakini bahwa Islam adalah jalan yang
benar.
Pada
saat itu juga, saya merasakan bahwa waktu untuk mengucapkan kalimat
tauhid dan syahadat telah tiba. Ternyata tiba-tiba saudara Amjad
mendatangiku bertepatan dengan waktu dikumandangkannya adzan untuk
shalat dhuhur. Waktu itu benar-benar telah tiba, sehingga tiada pilihan
bagiku kecuali saya mengucapkan :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah,
dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya
Maka
serta merta saudara Amjad memelukku dengan pelukan yang ramah, seraya
memberikan ucapan selamat atas keIslamanku, kemudian kami sujud syukur
sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah atas anugerah nikmat ini.
Kemudian saya diminta mandi ([1] Sebagaimana hadits Qoish bin ‘Ashim, Ketika beliau masuk Islam, Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air yang dicampur bidara. (HR. An-Nasai, at-Turmudzi dan Abu Daud. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa’ (128).)) dan berangkat ke al-Masjid al-Aqsho untuk menunaikan shalat dhuhur,
Di
tempat tersebut setelah shalat, saya menemui jamaah shalat dengan
syahadat, yaitu persaksian kebenaran dan tauhid yang telah Allah
anugerahkan kepadaku. Setelah saya mengetahui bahwa siapa saja yang
masuk Islam wajib baginya berkhitan, maka segala puji dan anugerah milik
Allah, saya tunaikan kewajiban berkhitan tersebut sebagai bentuk
meneladani bapaknya para nabi, yaitu Ibrahim q yang melakukan khitan pada usia 80 tahun (Sebagaimana Rasulullah n bersabda : Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “al-Qoduum” (nama alat atau tempat).( HR. Al-Bukhori (3356) dan Muslim (2370).)).
Itulah
diriku, saya telah memulai hidup baru dibawah naungan agama kebenaran,
agama yang penuh dengan kasih sayang dan cahaya. Saya senantiasa
menuntut ilmu agama dari kitab Allah Ta’aala dan sunnah Rasulullah n sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu) umat ini, dari kalangan para sahabat g beserta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Segala puji bagi Allah atas anugerah Islam dan as-Sunnah.